BLOGGER TEMPLATES - TWITTER BACKGROUNDS

Kamis, 16 Februari 2012

kwn

KEWARGANEGARAAN

BUDAYA POLITIK INDNESIA













OLEH:

SHILVY
XI CIBI
SMAN 1 PADANG
MEMPELAJARI PERKEMBANGAN POLITIK INDONESIA MELALUI PENDEKATAN KEBUDAYAAN POLITIK
Budaya yang berasal dari kata ‘buddhayah’ yang berarti akal, atau dapat juga didefinisikan secara terpisah yaitu dengan dua buah kata ‘budi’ dan ‘daya’ yang apabila digabungkan menghasilkan sintesa arti mendayakan budi, atau menggunakan akal budi tersebut. Bila melihat budaya dalam konteks politik hal ini menyangkut dengan sistem politik yang dianut suatu negara beserta segala unsur (pola bersikap & pola bertingkah laku) yang terdapat didalamnya.
Sikap & tingkah laku politik seseorang menjadi suatu obyek penanda gejala-gejala politik yang akan terjadi pada orang tersebut dan orang-orang yang berada di bawah politiknya. Contohnya ialah jikalau seseorang telah terbiasa dengan sikap dan tingkah laku politik yang hanya tahu menerima, menurut atau memberi perintah tanpa mempersoalkan atau memberi kesempatan buat mempertanyakan apa yang terkandung dalan perintah itu. Dapat diperkirakan orang itu akan merasa aneh, canggung atau frustasi bilamana ia berada dalam lingkungan masyarakatnya yang kritis, yang sering, kalaulah tidak selalu, mempertanyakan sesuatu keputusan atau kebijaksanaan politik.
Golongan elit yang strategis seperti para pemegang kekuasaan biasanya menjadi objek pengamatan tingkah laku ini, sebab peranan mereka biasanya amat menentukan walau tindakan politik mereka tidak selalu sejurus dengan iklim politik lingkungannya. Golongan elit strategis biasanya secara sadar memakai cara-cara yang tidak demokratis guna menyearahkan masyarakatnya untuk menuju tujuan yang dianut oleh golongan ini. Kemerosotan demokratisasi biasanya terjadi disini, walaupun mungkin terjadi kemajuan pada beberapa bidang seperti bidang ekonomi dan yang lainnya.
Kebudayaan politik Indonesia pada dasarnya bersumber pada pola sikap dan tingkah laku politik yang majemuk. Namun dari sinilah masalah-masalah biasanya bersumber. Mengapa? Dikarenakan oleh karena golongan elite yang mempunyai rasa idealisme yang tinggi. Akan tetapi kadar idealisme yang tinggi itu sering tidak dilandasi oleh pengetahuan yang mantap tentang realita hidup masyarakat. Sedangkan masyarakat yang hidup di dalam realita ini terbentur oleh tembok kenyataan hidup yang berbeda dengan idealisme yang diterapkan oleh golongan elit tersebut. Contohnya, seorang kepala pemerintahan yang mencanangkan program wajib belajar 9 tahun demi meningkatkan mutu pendidikan, namun pada aplikasinya banyak anak-anak yang pada jenjang pendidikan dasar putus sekolah dengan berbagai alasan, seperti tidak memiliki biaya. Hal ini berarti idealisme itu tidak diimplikasikan secara riil dan materiil ke dalam masyarakat yang terlibat dibawah politiknya.
Idealisme diakui memanglah penting. Tetapi bersikap berlebihan atas idealisme itu akan menciptakan suatu ideologi yang sempit yang biasanya akan menciptakan suatu sikap dan tingkahlaku politik yang egois dan mau menang sendiri. Demokrasi biasanya mampu menjadi jalan penengah bagi atas polemik ini.
Indonesia sendiri mulai menganut sistem demokrasi ini sejak awal kemerdeka-annya yang dicetuskan di dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Demokrasi dianggap merupakan sistem yang cocok di Indonesia karena kemajemukan masyarakat di Indonesia. Oleh karena itu Demokrasi yang dilakukan dengan musyawarah mufakat berusaha untuk mencapai obyektifitas dalam berbagai bidang yang secara khusus adalah politik. Kondisi obyektif tersebut berperan untuk menciptakan iklim pemerintahan yang kondusif di Indonesia. Walaupun demikian, perilaku politik manusia di Indonesia masih memiliki corak-corak yang menjadikannya sulit untuk menerapkan Demokrasi yang murni.
Corak pertama terdapat pada golongan elite strategis, yakni kecenderungan untuk memaksakan subyektifisme mereka agar menjadi obyektifisme, sikap seperti ini biasanya melahirkan sikap mental yang otoriter/totaliter. Corak kedua terdapat pada anggota masyarakat biasa, corak ini bersifat emosional-primordial. Kedua cirak ini tersintesa sehingga menciptakan suasana politik yang otoriter/totaliter.
Sejauh ini kita sudah mengetahui adanya perbedaan atau kesenjangan antara corak-corak sikap dan tingkah laku politik yang tampak berlaku dalam masyarakat dengan corak sikap dan tingkahlaku politik yang dikehendaki oleh Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Kita tahu bahwa manusia Indonesia sekarang ini masih belum mencerminkan nilai-nilai Pancasila itu dalam sikap dan tingkah lakunya sehari-hari. Kenyataan tersebutlah yang hendak kita rubah dengan nilai-nilai idealisme pancasila, untuk mencapai manusia yang paling tidak mendekati kesempurnaan dalam konteks Pancasila.
Esensi manusia ideal tersebut harus dikaitkan pada konsep “dinamika dalam kestabilan”. Arti kata dinamik disini berarti berkembang untuk menjadi lebih baik. Misalkan kepada suatu generasi diwariskan suatu undang-undang, diharapkan dengan dinamika yang ada dalam masyarakat tersebut dapat menjadikan Undang-Undang tersebut bersifat luwes dan fleksibel, sehingga tanpa menghilangkan nilai-nilai esensi yang ada, generasi tersebut terus berkembang. Dinamika dan kemerdekaan berpikir tersebut diharapkan mampu untuk memperkokoh persatuan dan memupuk pertumbuhan.
Yang menjadi persoalan kini ialah bagaimana dapat menjadikan individu-individu yang berada di masyarakat Indonesia untuk mempunyai ciri “dinamika dalam kestabilan” yakni menjadi manusia yang ideal yang diinginkan oleh Pancasila. Maka disini diperlukanlah suatu proses yang dinamakan sosialisasi, sosialisasi Pancasila. Sosalisasi ini jikalau berjalan progressif dan berhasil maka kita akan meimplikasikan nilai-nilai Pancasila kedalam berbagai bidang kehidupan. Dari penanaman-penanaman nilai ini akan melahirkan kebudayaan-kebudayaan yang berideologikan Pancasila. Proses kelahiran ini akan memakan waktu yang cukup lama, jadi kita tidak bisa mengharapkan hasil yang instant terjadinya pembudayaan.
Dua faktor yang memungkinkan keberhasilan proses pembudayaan nilai-nilai dalam diri seseorang yaitu sampai nilai-nilai itu berhasil tertanam di dalam dirinya dengan baik. Kedua faktor itu adalah:
1. Emosional psikologis, faktor yang berasal dari hatinya
2. Rasio, faktor yang berasal dari otaknya
Jikalau kedua faktor tersebut dalam diri seseorang kompatibel dengan nilai-nilai Pancasila maka pada saat itu terjadilah pembudayaan Pancasila itu dengan sendirinya.
Tentu saja tidak hanya kedua faktor tersebut. Segi lain pula yang patut diperhaikan dalam proses pembudayaan adalah masalah waktu. Pembudayaan tidak berlangsung secara instan dalam diri seseorang namun melalui suatu proses yang tentunya membutuhkan tahapan-tahapan yang adalah pengenalan-pemahaman-penilaian-penghayatan-pengamalan. Faktor kronologis ini berlangsung berbeda untuk setiap kelompok usia.
Melepaskan kebiasaan yang telah menjadi kebudayaan yang lama merupakan suatu hal yang berat, namun hal tersebutlah yang diperlukan oleh bangsa Indonesia. Sekarang ini bangsa kita memerlukan suatu transformasi budaya sehingga membentuk budaya yang memberikan ciri Ideal kepada setiap Individu yakni berciri seperti manusia yang lebih Pancasilais. Transformasi iu memerlukan tahapan-tahapan pemahaman dan penghayatan yang mendalam yang terkandung di dalam nilai-nilai yang menuntut perubahan atau pembaharuan. Keberhasilan atau kegagalan pembudayaan dan beserta segala prosesnya akan menentukan jalannya perkembangan politik yang ditempuh oleh bangsa Indonesia di masa depan.


Budaya Politik di Indonesia
• Hirarki yang Tegar/Ketat
Masyarakat Jawa, dan sebagian besar masyarakat lain di Indonesia, pada dasarnya bersifat hirarkis. Stratifikasi sosial yang hirarkis ini tampak dari adanya pemilahan tegas antara penguasa (wong gedhe) dengan rakyat kebanyakan (wong cilik). Masing-masing terpisah melalui tatanan hirarkis yang sangat ketat. Alam pikiran dan tatacara sopan santun diekspresikan sedemikian rupa sesuai dengan asal-usul kelas masing-masing. Penguasa dapat menggunakan bahasa 'kasar' kepada rakyat kebanyakan. Sebaliknya, rakyat harus mengekspresikan diri kepada penguasa dalam bahasa 'halus'. Dalam kehidupan politik, pengaruh stratifikasi sosial semacam itu antara lain tercemin pada cara penguasa memandang diri dan rakyatnya.
• Kecendrungan Patronage
Pola hubungan Patronage merupakan salah satu budaya politik yang menonjol di Indonesia.Pola hubungan ini bersifat individual. Dalam kehidupan politik, tumbuhnya budaya politik semacam ini tampak misalnya di kalangan pelaku politik. Mereka lebih memilih mencari dukungan dari atas daripada menggali dukungn dari basisnya.
• Kecendrungan Neo-patrimoniaalistik
Salah satu kecendrungan dalam kehidupan politik di Indonesia adalah adanya kecendrungan munculnya budaya politik yang bersifat neo-patrimonisalistik; artinya meskipun memiliki atribut yang bersifat modern dan rasionalistik zeperti birokrasi, perilaku negara masih memperlihatkan tradisi dan budaya politik yang berkarakter patrimonial.
Ciri-ciri birokrasi modern:
• Adanya suatu struktur hirarkis yang melibatkan pendelegasian wewenang dari atas ke bawah dalam organisasi
• Adanya posisi-posisi atau jabatan-jabatan yang masing-masing mempunyai tugas dan tanggung jawab yang tegas
• Adanya aturan-aturan, regulasi-regulasi, dan standar-standar formalyang mengatur bekerjanya organisasi dan tingkah laku anggotanya
• Adanya personel yang secara teknis memenuhi syarat, yang dipekerjakan atas dasar karier, dengan promosi yang didasarkan pada kualifikasi dan penampilan





NO POLITIK DI DESA POLITIK DI KOTA


NO POLITIK DI DESA POLITIK DI KOTA

Kamis, 09 Februari 2012

Efek Berantai Kasus Anas
BERITASATU.COM - "Terus terang ini beban buat Demokrat, tapi kami selalu siap menanggung konsekuensi beban itu."
Demikian pernyataan Syariefuddin Hasan, anggota Dewan Pembina Partai Demokrat saat berkunjung ke kantor Beritasatu Media Holdings, Rabu (8/2) sore.
Bagi Syarief, mengubah wajah pengurus Partai Demokrat adalah salah satu kunci dari konsolidasi untuk mengangkat Demokrat dari keterpurukan.
"Itu sudah ada mekanismenya sesuai AD/ART partai, namun kami tetap berpegang teguh pada asas praduga tak bersalah," ujar pendiri Partai Demokrat itu.
Ketika ditanyakan apakah posisi Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum dalam kasus dugaan suap Wisma Atlet SEA Games menjadi beban bagi Demokrat sehingga ketika masalah ini tuntas citra partai bisa pulih kembali untuk menyongsong Pemilu 2014, Syarief menjawab diplomatis.
"Memang kasus ini menjadi semacam multiplier effect (efek berantai) ke partai. Elektabilitas kami menurun dan ada perdebatan di dalam. Tapi kami yakin setelah (kasus) ini selesai Demokrat bisa rebound kembali," paparnya seraya mengingatkan partai ini masih memiliki pemilih loyalis (eligible voters).
Karena itu, Syarief berharap kasus dugaan suap Wisma Atlet SEA Games 2011 Palembang yang melilit Anas dan pengurus teras Demokrat lainnya bisa tuntas dalam dua bulan ke depan.
"Hal ini sejalan dengan arahan Ketua Dewan Pembina Demokrat Pak SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) yang tetap mempercayai Anas, namun ketika KPK berkata lain ya otomatis mekanisme partai berlaku," jelas kader senior Demokrat yang kini menjabat Menteri Koperasi dan UKM.
Desakan agar Anas mundur dari jabatan ketua umum Partai Demokrat akibat ekses kasus Wisma Atlet tidak hanya muncul dari luar tapi juga internal Demokrat.
Posisi Demokrat justru terpuruk di tangan Anas yang didukung 325 cabang saat Kongres Demokrat di Bandung, Mei 2010.
"Yang penting loyalitas dan komitmen ke partai. Setahu saya, loyalitas kawan-kawan ke Pak SBY masih 100%. Itulah loyalitas yang tertinggi," papar Syariefuddin Hasan.
Di tempat terpisah, Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbanigrum menegaskan, isu desakan mundur dari jabatan ketua terkait namanya disebut-sebut tersandung kasus korupsi wisma atlet di Palembang, ditepis secara objektif.
"Begini, di partai ada mekanisme dan aturan main, jadi seluruh dinamika partai yang dijalankan sesuai AD/ART dan peraturan serta etika partai. Semua tahu secara objektif, saya bukan terdakwa, bukan tersangka, saksi saja tidak," katanya usai pelantikan pengurus DPC Demokrat Makassar, Sulawesi Selatan, di Karebosi, Rabu (8/2).
Terkait dengan adanya isu penonaktifan anggota DPR RI Angelina Sondakh dengan dugaan tersangka kasus wisma atlet, kata dia, belum mengetahui pasti sebab hal itu diserahkan sepenuhnya kepada Dewan Kehormatan partai untuk memutuskan.
Harus Solid
Menyikapi kemelut dan masa depan Demokrat, pengamat politik dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Zaki Mubarok mengimbau para elite Partai Demokrat agar tidak mengumbar polemik internal partai yang saling menyudutkan ke publik karena akan semakin menurunkan popularitas dan elektabilitas partai.
"Agar popularitas dan elektabilitas Partai Demokrat yang sudah turun tidak terus menurun, hendaknya para elite Partai Demokrat bisa saling menahan diri, tidak saling menyerang dan menyudutkan di ruang publik," kata Zaki Mubarok..
Menurut dosen ilmu politik UIN Jakarta itu, pernyataan yang saling menyudutkan di antara elite Partai Demokrat turut memperkeruh suasana dan membuat kepercayaan publik terhadap partai itu semakin menurun.
Hasil survei dari Lingkaran Survei Indonesia (LSI) yang dipublikasikan, Minggu (5/2), menyimpulkan, dukungan masyarakat terhadap Partai Demokrat terus menurun sejak Januari 2010.
Dari hasil survei LSI itu, Partai Demokrat hanya berada di posisi ketiga (13,7%) setelah Partai Golkar (18,9%), dan PDI Perjuangan (14,2%).
Padahal, dari hasil survei oleh lembaga survei yang sama pada Juni 2011 menyimpulkan, Partai Demokrat berada di posisi kedua setelah Partai Golkar.
Dampaknya, kata Zaki, kepercayaan publik terhadap Partai Demokrat menurun, kepercayaan kader di daerah kepada pengurus pusat partai tersebut juga menurun.
"Banyak kader di daerah yang merasa kurang percaya diri dan malu ketika petinggi partainya di tingkat pusat saling menyerang satu sama lain," katanya.
Menurut dia, jika hal ini terus berlangsung maka perolehan suara Partai Demokrat pada Pemilu 2014 akan menurun tajam.
Zaki juga mengimbau agar Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono, yang juga Presiden Republik Indonesia, bersikap tegas guna meredam polemik di internal partai.
Lantas bagaimana suara kader Demokrat di daerah? Pengurus Dewan Pimpinan Daerah Partai Demokrat Jawa Barat menyatakan akan patuh pada arahan dan pernyataan Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono terkait akan melakukan aksi bersih-bersih terhadap kader yang bermasalah.
Ketua Bidang Komunikasi dan Informasi DPD Partai Demokrat Jawa Barat Yan Rizal Usman, Senin, mengatakan, tindakan tegas berupa pemecatan langsung diberikan saat kader apabila sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh aparat penegak hukum.
"Partai Demokrat Jabar akan fatsun dan melaksanakan arahan serta keputusan Ketua Wanbin, suka atau pun tidak," ujar Yan ketika dihubungi tadi malam.
Menurutnya, sebelum arahan tersebut diucapkan oleh Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, DPD Partai Demokrat Jawa Barat bahkan telah bersikap tegas dengan memecat kader-kader bermasalah, baik tersandung kasus korupsi, moral, narkoba atau kriminal.
"Bahkan di daerah ada temuan kader bermasalah secara hukum. Misalnya di Cianjur ada kader kena kasus korupsi, Karawang kena narkoba dan Purwakarta masalah moral. Dan mereka itu langsung diberhentikan," kata Yan.
Ia menuturkan, ketentuan tegas tersebut akan dijalankan pada Musyawarah Daerah (Musda) Partai Demokrat Jawa Barat.
Dikatakannya, DPD Partai Demokrat Jawa Barat juga mendukung langkah Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat yang tidak akan memisahkan proses hukum antara dugaan "money politic" dalam kongres dan kasus suap Wisma Atlet.






Alasan Nazaruddin Tak Gunakan Pengacara Asal Demokrat
Laporan Wartawan Tribunnews.com Rachmat Hidayat
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Keengganan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin menggunakan jasa kuasa hukum asal partai Demokrat, terjawab sudah. Nazaruddin ternyata tidak mau menjadi samsak Partai Demokrat seorang diri.
"Bang, gua bisa masuk ke jurang," kata Nazaruddin yang ditirukan OC Kaligis saat berbicara di Metro TV, Jakarta, Sabtu (13/8/2011).
OC Kaligis merupakan pengacara yang mendampingi Nazaruddin saat menjadi tersangka KPK. Saat dibekuk interpol Kolombia, OC Kaligis pun terbang menuju Bogota, Kolombia.
Kehadiran di Bogota, OC Kaligis justru dipersulit untuk bertemu Nazaruddin. OC Kaligis mengaku, baru bisa mengunjungi Nazaruddin selama lima menit saja. Atas hal ini, OC Kaligis pun menengarai bakal menghadapi tantangan serius saat akan mendampingi Nazaruddin setibanya di Indonesia.
"Saya menghadapi kekuasaan, masuk ke Mako saja, belum tentu bisa. Dan saya siap mendampingi, karena keadilan musti ditegakkan," sergahnya.